Raden Muhammad Rais

Raden Muhammad Rais

Sang Pencerah dari Mambalan

 Rabu, 04 April 2012 00:00 WIB

 

Sang Pencerah dari Mambalan
MI/Yusuf Riaman/sa

RADEN Muhammad Rais, 51, tidak menyangka ia bakal diundang ke Jakarta untuk menerima Millennium Development Goals (MDGs) Awards dalam kategori penghargaan khusus pencerah Nusantara.

Betapa tidak, laki-laki yang berpenampilan lugu itu tidak pernah bermimpi muluk-muluk tentang apa yang bakal diraihnya tatkala mencoba peduli terhadap kondisi kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Saat ditemui di rumahnya di Dusun Mambalan, Desa Mambalan, Kecamatan Gunungsari, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), dua hari lalu, cerminan kehidupannya yang bersahaja segera tampak. Rumah Rais dibangun setengah permanen layaknya sebagian besar rumah lainnya di perkampungan tersebut.

Kami memilih mengobrol di atas berugak atau bale-bale berukuran sekitar 3×5 meter, terbuat dari kayu dan bambu, di samping rumahnya.

Rupanya, sebagian besar tamu Rais memang lebih senang diajak ngobrol di atas berugak daripada di dalam rumah.

Di berugak, para tamu dapat lebih leluasa menyaksikan suasana sekitar kebun yang mengelilingi rumah itu, yang sejuk dengan beraneka tanaman.

Di berugak Pak Rais memasang papan tulis berukuran besar untuk mencatat, menempel hal-hal yang berkaitan dengan informasi budaya, pendidikan, kesehatan, lingkungan, termasuk informasi yang berkaitan dengan kegiatan masyarakat sekitar. Papan tulis itu menjadi salah satu penanda tugas yang diemban Rais sebagai Kepala Dusun Mambalan.

Tidak lulus SD

Rais menceritakan, semasa kecil, dia lebih senang menggembalakan kuda, sapi, ikut bekerja di sawah, atau mengikuti ibunya berjualan ke pasar daripada bersekolah. Rais kecil tidak menjalani pendidikan formal dengan baik, ia hanya sempat duduk di bangku kelas 4 SD.

Seiring dengan perjalanan waktu, ketika tumbuh remaja dan dewasa Rais mulai sadar bahwa pendidikan sangat menentukan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menyadari hal itu, di usia 22 tahun, Rais kemudian berusaha mengikuti program pendidikan Paket A dan lulus hingga meraih ijazah Paket C.

“Alhamdulillah bersamaan itu, masyarakat di sini memilih saya untuk menjadi Kepala Dusun Mambalan hingga sekarang berjalan 10 tahun,” kata Rais.

Seperti dikatakan Rais, dahulu, Mambalan tidak jauh berbeda dengan sebagian besar desa lainnya di Lombok. Banyak anak putus sekolah akibat kemiskinan.

Persoalan lainnya ialah jumlah ibu-ibu dan bayi meninggal saat proses persalinan juga tinggi. Pemicunya, masyarakat masih mengandalkan dukun kampung dengan penanganan secara tradisional.

Selain itu, kampungnya dilanda masalah kenakalan remaja bahkan aksi perusakan lingkungan. Banyak orangtua yang tergolong mampu lebih suka melihat anak mereka bekerja di sawah atau pasar ketimbang bersekolah meski mereka tahu pendidikan dasar itu wajib dan telah digratiskan. Warga juga kerap diresahkan oleh kasus pencurian hewan piaraan. Para perambah liar tidak pernah kapok merusak hutan meskipun aparat berkali-kali memberikan peringatan.

Tidak hanya itu. Raden merasa gerah menyaksikan banyak ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat. Hak-hak masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik dan keadilan kurang diperhatikan, seperti biaya pembuatan KTP yang tak seragam, masalah pembagian beras miskin, kartu kesehatan, dan berbagai masalah yang berpangkal pada pelanggaran regulasi.

Di sisi lain, masyarakat tidak terlalu peduli dengan program-program pemerintah yang masuk ke desa. Rais kemudian berpikir apa sebetulnya yang salah dalam kehidupan masyarakat di Desa Mambalan dan penerapan kebijakan yang dijalankan aparat pemerintah.

Awik-akwik

Tanpa melalui diskusi panjang dengan orang-orang yang dianggapnya lebih mengerti, ia menyimpulkan keterbelakangan hanya disebabkan tidak berjalannya sistem hukum yang mengikat masyarakat di desa itu.

“Satu-satunya cara ialah menghidupkan kembali hukum adat,” kata Rais.

Menghidupkan kembali sistem lama seperti yang dianut nenek moyang mereka di era modern saat ini bukanlah perkara gampang. Rais malah dituding hanya ingin membangkitkan sistem feodal, terutama oleh mereka yang sudah mengenyam pendidikan tinggi.

Rais tidak bergeming. Ia berusaha memanfaatkan ruang publik untuk menyampaikan keinginannya bagi kemaslahatan masyarakat banyak. Aktivitas itu sangat mungkin dilakukan Rais karena dia pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Lombok Barat.

Rais memanfaatkan wadah Gawe Rapah atau pertemuan besar yang dilaksanakan secara berkala antara pemimpin dan rakyat. Ia memanfaatkan acara itu untuk mencari solusi atas berbagai persoalan, mulai persoalan di antara warga hingga hal-hal yang terkait dengan kebijakan dan regulasi.

Rais berusaha untuk terus mendorong warga agar mengedepankan segala solusi atas persoalan dan ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat melalui Gawe Rapah. Acara itu dilaksanakan di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB).

Menurut dia, di forum Gawe Rapah itulah rakyat dapat dengan leluasa menyampaikan segala persoalan dengan tutur kata yang santun. Gawe Rapah merupakan revitalisasi budaya lokal yang dapat dimanfaatkan sebagai media komplain terhadap satuan kerja perangkat daerah (SKPD).

Di Gawe Rapah lahir berbagai komitmen di antara warga serta antara warga dan pemimpin mereka sebagai kesepakatan adat yang harus dipatuhi semua pihak. Bila ada di antara mereka yang melanggar, baik warga maupun pemimpin, wajib dikenai sanksi adat dari yang ringan hingga yang terberat.

Perjuangan Rais membuahkan hasil. Pada pertengahan 2009, warga dari 12 dusun bersedia menggelar sangkep atau musyawarah besar untuk menyusun awik-awik atau hukum adat warisan nenek moyang suku Sasak. Aturan yang telah disepakati kemudian dikukuhkan dalam prosesi adat. (M-2)

Tinggalkan komentar